
Sebagai muslim, setiap kita pasti menginginkan menjadi orang yang shaleh, sebab jangankan kita, Nabi-Nabi saja menginginkannya, padahal seorang Nabi tentu saja termasuk orang shaleh.  Hal ini karena, keshalehan akan membuat seseorang bisa dimasukkan ke  dalam surga. Diantara Nabi yang meminta agar dimasukkan ke dalam  kelompok orang yang shaleh adalah Nabi Sulaiman as sebagaimana  disebutkan dalam firman Allah swt: 
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن  قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي  أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا  تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
"Maka  dia tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu.  dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri  nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang  ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan  masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang  saleh". (QS An Naml [27]:19).
Namun, untuk menjadi shaleh  ada hambatan-hambatan yang menghadang sehingga setiap kita harus  mewaspadainya, bahkan mengatasi agar jangan sampai sifat-sifat yang  menjadi penghambat keshalehan ini ada pada diri kita masing-masing. Ali  bin Abi Thalib yang sering disebut sebagai pintu ilmu dan gudang ilmunya  adalah Rasulullah saw, mengemukakan adanya sifat-sifat yang menjadi  hambatan untuk menjadi shaleh, beliau berkata seperti yang dikutip oleh  Imam Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Nashaihul Ibad:
لَوْلاَ  خَمْسُ خِصَالٍ لَصَارَ النَّاسُ كُلُّهُمْ صَالِحِيْنَ أَوَّلُهَا  الْقَنَاعَةُ بِالْجَهْلِ وَالْحِرْصُ عَلَى الدُّنْيَا وَالشُّحُّ  بِالْفَضْلِ وَالرِّيَاءُ فِى الْعَمَلِ وَاْلإِعْجَابُ بِالرَّأْيِ
Jika  tidak ada lima sifat tercela, niscaya manusia seluruhnya akan menjadi  orang shaleh, kelima sifat tercela itu adalah: merasa senang dengan  kebodohan, rakus terhadap harta keduniaan, bakhil dengan kelebihan harta  yang dimiliki, riya dalam setiap amal yang dilakukan dan senantiasa  membanggakan pendapat sendiri 
Dari ungkapan Ali bin Abi  Thalib di atas, lima penghambat untuk menjadi orang yang shaleh harus  kita pahami agar kita bisa mencegahnya dari diri kita masing-masing.
1. Senang Dengan Kebodohan.
Kejahiliyahan  yang diterjemahkan dengan kebodohan bisa dipahami bodoh dalam arti  intelektual yakni tidak memahami ilmu tentang nilai-nilai kebaikan dan  kebenaran atau bisa juga dipahami mengetahui ilmu tentang kebenaran tapi  tidak menjalani kehidupan dengan baik dan benar. Kejahiliyahan seperti  inilah yang dibenahi oleh Rasulullah saw, karena itu jangan sampai ada  seorang muslim yang justeru senang dengan kebodohan. 
Secara garis besar, Al-Qur’an menyebutkan kejahiliyahan dalam tiga bentuk. 
Pertama  adalah jahiliyah dalam masalah ketuhanan, yakni menjadikan selain Allah  swt sebagai tuhannya. Tuhan dalam Islam adalah sesuatu yang tidak bisa  dibuat, tidak bisa dilihat dengan pandangan mata, tidak ada sesuatu yang  bisa menyamainya, bahkan tuhan itu justeru yang mencipta segala  sesuatu, bukan dicipta oleh sesuatu. Karena itu, umat Nabi Musa diangap  jahil karena mereka meminta dibuatkan tuhan, dalam kaitan ini Allah swt  berfirman:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ  فَأَتَوْاْ عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُواْ يَا  مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَـهاً كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ  قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
Dan Kami  seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka  sampai kepada satu kaum yang tetap menyembah berhala mereka. Bani Israil  berkata: Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala)  sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab:  “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui/jahil” (QS Al A’raf [7]:138).
Kedua,  jahiliyah dalam masalah syariah atau hukum, yakni berhukum kepada hukum  selain dari hukum Allah atau hukum yang bertentangan dengan hukum-Nya.  Itu sebabnya, seorang muslim jangan menggunakan hukum yang lain kecuali  hukum Allah atau jangan gunakan hukum yang bertentangan dengan  hukum-hukum Allah swt yang disebutkan dalam firman: 
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah  hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih  baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin (QS Al Maidah [5]:50).
Ketiga, jahiliyah  dalam masalah akhlak atau prilaku yang tidak sejalan dengan nilai-nilai  yang datang dari-Nya, misalnya saja penampilan seorang wanita yang  tidak islami, sikap sombong, pembicaraan yang tidak bermanfaat,  perzinahan dll. Allah swt berfirman dalam kaitan menceritakan kasus yang  terjadi pada Nabi Yusuf as: Yusuf berkata:
قَالَ رَبِّ  السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ  عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
Wahai  Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka  kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu  akan akan cenderung (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku  termasuk orang-orang yang bodoh (QS Yusuf [12]:33).
2. Rakus Terhadap Harta.
Setiap  orang pasti membutuhkan harta untuk bisa memenuhi segala kebutuhannya  dalam hidup ini, karenanya harta harus dicari dengan cara yang halal dan  mensyukuri bila telah memperolehnya, baik dalam jumlah yang sedikit  apalagi banyak. Agar kita bisa dan tetap menjadi shaleh dalam kaitan  dengan harta, maka jangan sampai kita menjadi orang yang rakus. 
Kerakusan  dalam harta biasanya ditandai dengan menginginkan harta yang banyak  dengan cara yang tidak halal atau ia ingin agar orang lain tidak  mendapatkannya sehingga dalam suatu usaha ia melakukan penguasaan atau  monopoli yang mernyebabkan orang lain tidak mendapatkan peluang untuk  berusaha. Disamping itu orang rakus menjadi iri terhadap orang lain yang  memiliki harta sehingga ia berusaha agar tidak ada orang yang  menyainginya, bahkan rakus terhadap harta membuat orang tidak peduli  terhadap ketentuan hukum sehingga Allah swt memperingatkan kita semua  dengan firman-Nya: 
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم  بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً  مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan  janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara  kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)  harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada  harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu  Mengetahui. (QS Al Baqarah [2]:188)
3. Bakhil Terhadap Harta.
Memiliki  sifat bakhil atau kikir dalam kaitan dengan harta membuat seseorang  akan terhindar dari keshalehan, hal ini karena bakhil merupakan sifat  tercela yang seharusnya dihindari, bila tidak, maka ia akan menjadi  orang yang rugi dalam kehidupannya di dunia dan akhirat, Allah swt  berfirman yang artinya: 
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan siapa yang dihindarkan dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS Al Hasyr [59]:9).
Karena  manusia menjadi tidak shaleh, maka kekikiran telah mengakibatkan  binasanya suatu umat, hal ini karena mereka melakukan pertumpahan darah  dan ternodalah nilai-nilai kehormatan yang mereka miliki, disinilah  salah satu letak pentingnya bagi kita untuk menjauhi kekikiran,  Rasulullah saw bersabda: 
Jauhilah  kekikiran, karena sesungguhnya ia telah membinasakan orang-orang  sebelum kalian, mendorong mereka menumpahkan darah dan menghalalkan  semua yang diharamkan Allah (HR. Muslim).
Oleh karena itu,  kekikiran jangan dipandang sebagai sesuatu yang membuat seseorang  beruntung hanya karena hartanya tidak berkurang, tapi sebenarnya ia  mengalami kerugiaan yang nyata, misalnya orang lain menjadi tidak suka  kepadanya, ketenangan jiwa hilang dari dirinya, sedangkan di akhirat dia  lebih merugi lagi, Allah swt berfirman: 
وَلاَ يَحْسَبَنَّ  الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً  لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ  الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا  تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Sekali-kali,  janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada  mereka dari karunia-Nya, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.  Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka  bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat (QS Ali Imran [3]:180). 
4. Riya Dalam Amal.
Riya  adalah melakukan kebaikan bukan karena Allah, tapi karena ingin dilihat  orang, dipuji atau ada pamrih dalam amalnya. Riya merupakan perbuatan  dan sifat orang-orang munafik, karenanya seorang muslim jangan sampai  memiliki sifat yang satu ini karena dengan begitu sulit baginya untuk  menjadi orang yang shaleh. Dalam konteks ini pula, dikenal istilah  sum’ah yang berasal dari kata samma’a yang maksudnya adalah menampakkan  amalnya kepada manusia yang semula tidak diketahuinya dengan maksud agar  orang yang sudah tahu amalnya itu akan memujinya, Allah swt berfirman: 
إِنَّ  الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ  إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ  يَذْكُرُونَ اللّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
Sesungguhnya  orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka.  Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.  Mereka bermaksud riya dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut  Allah kecuali sedikit sekali (QS An Nisa [4]:142).
Riya  merupakan bagian dari kemusyrikan, namun ia tergolong syirik yang kecil,  Rasulullah saw sangat khawatir bila hal ini terjadi pada umatnya,  karena sebanyak dan sebagus apapun amal seorang muslim, bila ternyata  mengandung kemuyrikan meskipun sangat kecil, tidak ada nilai apa-apanya  dihadapan Allah swt, Rasulullah saw bersabda: 
Sesungguhnya  sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik yang  kecil. Sahabat bertanya: “apakah syirik yang kecil itu ya Rasulullah?”.  Rasulullah menjawab: “Riya” (HR. Ahmad).
5. Membanggakan Pendapat 
Membanggakan  pendapat sendiri menjadi penghambat keshalehan karena dengan demikian  seseorang akan meremehkan pendapat orang lain meskipun pendapat tersebut  benar. Karena itu mau mendengar pendapat orang lain, apalagi memang  meminta pendapat orang lain menjadi sesuatu yang sangat baik. Bila  seseorang tidak mau menerima pendapat yang benar, bagaimana mungkin ia  akan menjadi shaleh.
Oleh karena itu, para sahabat telah  mencontohkan kepada kita bagaimana mereka mau menerima pendapat orang  lain yang benar meskipun harus mencabut kembali pendapatnya yang tidak  tepat, Umar bin Khattab merupakan salah satu contoh dalam masalah ini  ketika ia mencabut kembali pendapatnya yang salah dalam masalah melarang  pemberian mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak. 
Dengan  demikian, mau menjadi shaleh atau tidak sangat tergantung pada usaha  kita masing-masing dalam hidup ini dan sebagai muslim yang baik niscaya  setiap kita akan berusaha kearah itu.